Cari Blog Ini

Rabu, 04 April 2012

KASUS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

Tugas Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi
Nama : Ikatama Rachayu Putri
NPM : 23210411
Kelas : 2 EB 18
Dosen : Ibu Yunni Yuniawaty
Mata Kuliah : Aspek Hukum dalam Ekonomi

Tugas 4 : Penyederhanaan Masalah,Kunci Penyelesaian Kasus Bank Century
Disadari atau tidak, energi kita seudah begitu banyak tersedot oleh kasus bank century (BC).  Ada beberapa aspek positif, memang, misalnya meningkatnya kesadaran publik akan kebijakan pemerintah, juga keterlibatan masyakarakt — paling tidak secara emosional– dalam berbagai persoalan.  Besar harapan bahwa itu akan menjadi asset untuk menumbuhkembangkan masyarakat yang selalu aware tentang lingkungannya, tidak apatis.  OK..tapi terus apa?
Penyelesaian kasus BC tak kunjung menunjukkan titik terang, meskipun KPK sudah ‘memeriksa’ (diberi tangka kutip, karena beberapa kalangan pemerintah menyebutnya ‘klarifikasi’) Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani.  Tapi, sekali lagi, terus apa?
Kasus BC tak ubahnya permainan catur yang dimainkan dengan pembukaan yang salah.  Pembukaan yang salah membuat pemain menjadi ‘kagok’ di permainan tengah, berputar-putar dan tak kunjung sampai ke permainan akhir untuk menuntaskan permainan.  Yang diambil cuma langkah bolak-balik.  Dalam permainan catur (yang sebenarnya), kalau sudah tiga kali bolak-balik, biasanya diputuskan remis, dan permainan dinyatakan selesai.
Kesalahan ‘pembukaan’ yang dimaksud adalah karena kita membiarkan DPR mengambil inisiatif ‘penyelesaian’ (sengaja diberi tanda kutip, karena memang tidak menyelesaikan) kasus BC melalui Pansus mendahului proses hukum.  Bahwa pembentukan pansus merupakan hak DPR, tidak ada yang tidak setuju.  Tapi kita juga sebaiknya setuju, bahwa tidak ada rekam jejak yang menunjukkan bahwa pansus yang dibentuk oleh DPR mampu menghasilkan penyelesaian sebuah kasus.
Banyak yang lupa, bahwa DPR merupakan lembaga politik.  Pembentukan dan persidangan pansus sendiri sudah secara eksplisit dinyatakan sebagai proses politik.  Ciri khas sebuah proses politik adalah: tidak selalu, atau bahkan bisa dikatakan: tidak, berhubungan dengan ‘benar atau salah’.  Sesuatu yang benar, bisa saja secara politis tidak diterima, dan sebaliknya.
Anehnya, sebuah proses yang diakui sendiri sebagai proses politik, kemudian, melalui voting di sidang paripurna, dipaksakan (tepatnya:dikesankan) menjadi sebuah keputusan tentang ‘benar dan salah’.  Secara hakiki, hal itu merupakan pengingkaran terhadap pernyataan sebebelumnya bahwa pansus merupakan proses politik.  Kalau cuma untuk mengeluarkan rekomendasi agar kasus BC diselesaikan secara hukum, rasanya tidak perlu hiruk-pikuk itu.  
Yang juga tidak membantu adalah ‘akrobat akademik’ yang dilakukan oleh kubu SMI/Boed yang sempat menyatakan bahwa dana LPS yang digunakan untuk menalangi BC adalah bukan uang negara.  Saya tidak pernah mengerti, bagaimana uang yang dikumpulkan oleh instansi pemerintah (dalam kasus ini: LPS) bisa dikatakan bukan uang negara. Akhirnya memang clear bahwa uang LPS adalah uang negara, tapi langkah itu seolah-olah merupakan ‘pengakuan bersalah’ (kalimat imajinernya kurang lebih: “emang sih, itu salah, tapi kan tidak merugikan negara, karena bukan uang negara…”).
Oleh karena itu, tidak perlu heran kalau KPK — yang sekarang berada dalam ‘todongan senjata’ untuk menuntaskan kasus BC– mesti mulai dari nol.  KPK ‘dipaksa’ untuk mengulang-ulang lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah ditanyakan oleh anggota pansus.  Dan kalau begini terus, kapan tuntasnya?
Agar energi bangsa ini tidak keburu habis tersedot, maka kasus BC harus segera dituntaskan.  Maksudnya “dituntaskan” dalam hal ini adalah diselesaikan secara hukum.  Untuk itu, saya ingin mengusulkan beberapa langkah yang perlu diambil oleh pihak berwenang, dan termasuk kita semua.
Langkah-1: Lupakan Pansus Bank Century.  DPR pasti akan terus menekan KPK untuk ‘menindaklanjuti’ rekomendasinya, tapi KPK tidak perlu merasa tertekan karenanya. DPR sendiri sudah menyatakan bahwa proses politik selesai, dan sekarang masuk ke ranah hukum.  Jadi ya santai saja, dalam arti fokus ke upaya mencari fakta-fakta hukum.  Kalau dengan hanya berpegang pada fakta hukum itu DPR menjadi tidak puas, dan kemudian melakukan langkah-langkah yang merugikan KPK secara kelembagaan, percayalah bahwa rakyat tidak akan membiarkannya.
Langkah-2: Kembali ke Pokok Masalah.  Kita jangan lupa, bahwa ada dua aspek persoalan terkait BC.  Pertama, dugaan kejahatan perbankan (oleh pemilik lama BC), dan itu sudah dan sedang ditangani, jadi jangan dipersoalkan lagi.  Kedua, ini sebenarnya yang jadi ramai, adanya dugaan aliran dana talangan (bail out) dari BC ke parpol dan/atau orang parpol.  KPK harus mulai dari sini, yaitu melihat dan membuktikan bahwa memang ada yang tidak benar dalam aliran dana talangan BC seperti yang dituduhkan dulu.  Kalau tidak ada, selesai, dalam arti hanya ada aspek kejahatan perbankan, dan itu bukan kewenangan KPK.  Kalau benar bahwa ada aliran dana yang tidak benar, baru KPK menyelidiki, apakah ada indikasi hal itu terjadi ‘by design’, artinya disengaja oleh para pengambil keputusan bail out BC.  Kalau indikasi itu ada, seret para pengambil keputusan itu dan pihak terkait lainnya ke pengadilan tipikor.  Kalau tidak ada indikasi, ya hentikan proses hukumnya.
Langkah-3: Jangan Terjebak pada Perdebatan Akademis tentang Bail Out.  Kalau yang dipersoalkan adalah apakah keputusan bail out BC itu benar atau salah, percayalah, bahwa kita tidak akan pernah sampai pada sebuah kesimpulan yang solid.  Selalu akan kita temui argumentasi akademis yang membela atau menyalahkan bail out.  Dan itu tidak ada hubungannya dengan jumlah ‘ekonom’ yang kita mintai pendapat, hasilnya akan sama: ada yang setuju, ada yang tidak setuju.  Itu mirip dengan perdebatan tiada henti tentang ‘mekanisme pasar’ vs ‘intervensi pemerintah’.
Langkah-4: Pak Boediono, Bu Sri Mulyani,  Anggota DPR, Jangan Merasa Bener Sendiri.  Anggota DPR perlu agak rendah hati, jangan ’sok pinter’ dengan terlalu cepat membuat kesimpulan bahwa seseorang bersalah (secara hukum) sebelum proses hukum selesai.  Pak Boed dan Bu Ani juga, jangan membuat pernyataan yang kesannya ‘tidak mau tahu’ terhadap kemungkinan penyelewengan yang muncul akibat keputusan yang Bapak/Ibu buat dengan menyatakan bahwa “mereka itu kan ‘free rider’ yang selalu ada dalam setiap kebijakan”. Free rider sih free rider, tapi jangan naif, bahwa memang ada beberapa kebijakan yang kelihatannya sengaja dibuat untuk menciptakan ‘free rider’ tertentu yang punya lobby kuat. Mestinya Bapak/ibu bersikap kritis terhadap keputusan sendiri, termasuk tidak menutup-nutupi kemungkinan adanya kesengajaan pihak tertentu untuk memberikan informasi yang salah.  Dan kalau ternyata memang ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara tidak sah dari keputusan Bapak/Ibu, karena dana yang digunakan adalah uang negara (please, jangan berkelit lagi soal ini), meskipun Bapak/Ibu mungkin tidak terlibat langsung, sebaiknya Bapak/Ibu minta maaf kepada publik.
Langkah-5: Pak SBY, Bicaralah.  Kalau langkah-langkah di atas disepakati, sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan, SBY mestinya menjelaskan kepada rakyat tentang proses yang sedang dan akan berjalan.  Jadi rakyat akan tahu pada titik mana kasus BC itu akan berujung, bukan dari sisi waktu, tapi dari sisi substansi permasalahannya.  Satu hal lagi, kalau boleh menyarankan, Pak SBY kalau bicara jangan seperti orang ’stress’ atau ‘marah’, juga tidak perlu pakai ‘nunjuk-nunjuk’.. Rileks, artinya: mukanya jangan ‘kenceng’, tapi tegas, sehingga menumbuhkan kepercayaan di kalangan rakyat.  Baik juga kalau pada saat yang sama Pak SBY juga mau dan bisa mengendalikan para staf khususnya untuk tidak banyak bicara, apalagi ‘asbun’.
Langkah-6: Kita Semua, Mari Tidak Terjebak Agenda Para Politisi.  Empat tahun lagi (2014) aakan ada pemilu.  SBY sudah tidak mungkin maju lagi. Implikasinya, pertarungan dianggap akan lebih ’seimbang’, karena berkurangnya ‘faktor SBY’, khususnya dalam pemilihan presiden.  Bagi para politisi, penting bagi mereka untuk terus-menerus ‘menampakkan diri’ pada calon pemilih.  Berbagai cara ditempuh, dari yang elegan sampai yang ‘norak’.  Tapi bagi kita, atau sebagian besar di antara kita, yang bukan politisi, kita tidak punya kepentingan itu, jadi ya tidak perlu terbawa oleh ‘alunan musik’ para politisi itu..
Pada intinya, menurut saya, kunci penuntasan masalah BC adalah menyederhanakan masalah agar tetap fokus pada pokok persoalan, dan melokalisir masalah agar tidak merembet ke hal-hal lain yang cuma bikin ‘ramai’ tapi tidak membantu menyelesaikan.  Kesemuanya dilakukan, sekali lagi, agar kehidupan kita sebagai bangsa tidak terus-menerus ‘terdominasi’ oleh hiruk-pikuk persoalan politik, khususnya Bank Century. Supaya kita bisa mencurahkan perhatian dan energi kita pada hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya, bahkan dalam banyak kasus: lebih penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar