Nama : Ikatama Rachayu Putri
NPM : 23210411
Kelas : 2 EB 18
Dosen : Ibu Yunni Yuniawaty
Mata Kuliah : Aspek Hukum dalam Ekonomi
Tugas 6 : Masalah Hutang Luar Negeri Indonesia dan Alternatif Solusinya Dalam Perspektif Kebijakan Ekonomi Makro Islam
Dunia internasional dikejutkan oleh badai krisis yang menerpa Indonesia, yang selama ini dipandang sebagai negara stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis, ternyata begitu ditimpa badai krisis, seluruh bangunan ekonominya runtuh, persatuan nasional rapuh terancam disintegrasi bangsa seperti Yugoslavia dan negara-negara kawasan Balkan.
Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi, menunjukkan kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun. Praktek monopoli, konglomerasi dan ekonomi kapitalistik mematikan usaha-usaha ekonomi kerakyatan, memperluas kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Kondisi ini semakin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis istilah hutang luar negeri dengan bantuan luar negeri. Celakanya lagi hutang luar negeri/ bantuan luar negeri dari negara-negara donor, dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak yang dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tingkat kebocoran ini cukup signifikan, menurut begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mencapai 30% dari total anggaran pembangunan.
Jefrey A. Winters, seorang ekonom dari Northwestern University AS mengemukakan bahwa paling tidak sepertiga dari bantuan (pinjaman) Bank Dunia untuk Indonesia bocor di birokrasi Indonesia. Dalam hasil survey Transparancy International terhadap 52 negara, Indonesia menempati peringkat ke-7 dan di antara negara ASEAN, berada pada peringkat pertama.
Pada dasawarsa 1990-an, jumlah hutang luar negeri Indonesia menempati peringkat ke-5 di antara negara dunia ketiga, setelah Meksiko, Brazil, India dan Argentina.Akibat krisis ekonomi yang sangat parah ini, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan rasio stock hutang per GDP tertinggi di dunia, mengalahkan negara-negara yang selama ini terkenal sebagai pengutang terbesar, seperti Meksiko, Brazil dan Argentina.
Persoalan hutang luar negeri ini bila tidak diselesaikan dengan baik akan dapat menghambat pemulihan ekonomi dan menjatuhkan martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Dalam makalah ini akan dipaparkan bagaimana kebijakan makro ekonomi Islam terhadap persoalan hutang dan solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan krisis hutang luar negeri secara baik, manusiawi dan berkeadilan sosial.
A. Hutang Luar Negeri Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional
Masalah hutang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan (deficit budged) telah menjadi perdebatan klasik, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam pemikiran Rostow, posisi hutang luar negeri dianggap sebagai the missing link dalam mata rantai pembangunan ekonomi. Dalam dunia praktis, hutang luar negeri merupakan vicious cyrcle dalam pembangunan, khususnya negara-negara berkembang. Tercatat beberapa kali dunia mengalami debt crisis yang hebat, misalnya tahun 1930-an, 1980-an, 1980-an dan 1990-an hingga saat ini. Penyelesaian hutang luar negeri masih merupakan problematika yang kompleks dan rumit untuk dipecahkan.
Dalam penjelasan teori-teori konvensional, setidaknya terdapat dua teori yang dapat menjelaskan tentang urgensi hutang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan. Teori pertama mengatakan bahwa hutang luar negeri, seperti halnya investasi asing, diperlukan untuk menutup saving gap dalam terminologi kelompok Neo-Klasik.dalam hal ini hutang luar negeri dibutuhkan karena domestic saving tidak mencukupi untuk pembiayaan pembangunan. Sebenarnya untuk menutup saving gap dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu debt creating flow dan non debt creating flow. DCF dapat berupa hutang bilateral maupun multilateral, sedang NDCF berupa penanaman dan penyertaan modal seperti Foreign Direct Investment (FDI), short term capital dan long term capital. Teori yang kedua menjelaskan fenomena hutang luar negeri dari sisi neraca pembayaran, dimana ia merupakan salah satu account pada neraca modal, yang berfungsi mengakomodasikan kepentingan neraca berjalan yang bersifat otonom. Jadi bila neraca berjalan mengalami defisit, maka akan dikompensasikan dengan hutang luar negeri dalam neraca modal. Dalam konteks ini hutang luar negeri dapat berfungsi sebagai gap filling, yaitu mengisi gap akibat defisit neraca berjalan.
Hutang luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang sangat signifikan bagi negara berkembang. Namun demikian, hasil studi tentang dampak hutang terhadap pembangunan ekonomi menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa ilmuwan memperoleh kesimpulan bahwa hutang luar negeri justeru telah menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara pengutang besar, sementara studi lain menyimpulkan sebaliknya-yaitu hutang luar negeri menjadi salah satu faktor yang secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara pengutang.
Banyak negara sedang berkembang (NSB) yang kini telah masuk dalam perangkap hutang (debt trap), dan akhirnya hanyut dalam lingkaran ketergantungan hutang (debt overhang hypothesis).Dalam konteks argumentasi ini, patut dipertanyakan kembali relevansi dan urgensi hutang luar negeri dalam pembiayaan negara-negara berkembang.
B. Kondisi Hutang Luar Negeri Indonesia
Hingga tahun 1997, pembangunan di Indonesia selalu dipuji oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Bahkan dalam laporan Bank Dunia pada bulan Juni 1997, Indonesia mendapat predikat keajaiban atau negara yang pertumbuhannya ajaib.Sebelumnya jatuhnya Orde Baru, Bank Dunia selalu memuji prestasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bahkan posisi Indonesia ditempatkan sebagai salah satu negara berkembang yang sukses pembangunan ekonominya, tanpa melihat proses pembangunan itu telah merusak dan menghabiskan sumber daya alam yang ada, dan melilitkan Indonesia pada hutang luar negeri yang sangat besar.
Satu hal penting yang dilupakan adalah bahwa semua keberhasilan itu dicapai dengan hutang, sehingga menjadi bumerang ketika Indonesia diterpa krisis pada tahun 1997. Seluruh bangunan ekonomi runtuh, perusahaan-perusahaan bangkrut, pengangguran meledak, kemisikinan meningkat, sementara beban hutang luar negeri semakin berat. Total hutang luar negeri sampai dengan Desember 1998 mencapai US$ 144, 021 milyar, terdiri atas hutang swasta US$ 83, 572 milyar (58,03%). Dengan total penduduk 202 juta jiwa, beban hutang perkapita mencapai US$ 703 pertahun. Artinya setiap bayi Indonesia yang lahir saat itu sudah memikul beban hutang sebesar US$ 303 atau sekitar Rp. 2.400.000,00 pertahun.Dalam laporan diskusi di harian Kompas, diperkirakan Indonesia baru akan dapat membayar lunas hutangnya setelah 50 tahun. Dengan asumsi jumlah total hutang luar negeri Indonesia pemerintah dan swasta sebesar US$ 140 milyar, untuk melunasinya, rakyat Indonesia harus bekerja 24 jam sehari dengan upah Rp. 10.000,00 selama 50 tahun.
Kemudian ditambah lagi dengan hutang swasta yang cukupsignifikan besarnya. Dari data yang tertulis dalam tabel 1 dapat dilihat bahwa memang benar Hutang Luar Negeri Swasta telah meningkat secara signifikan. Dalam tabel 1 tersebut dapat diamati tiga macam perbandingan antara HLN Swasta Pemerintah, meliputi (1) perbandingan angka, (2) perbandingan DR, dan (3) perbandingan pembayaran bunga, dari tahun 1993 sampai tahun 1999. C. Hutang Luar Negeri Pemicu Krisis Ekonomi Indonesia
Perpindahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif – rasional. Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan ekonomi.
D. Pandangan Islam Tentang Hutang Luar Negeri dan tawaran solusi alternatif pemecahannya.
Secara umum terdapat dua pandangan tentang hutang luar negeri sebagai alternatif menutup defisit anggaran negara. Pandangan pertama menganggap bahwa external financing merupakan hal yang diperbolehkan dalam Islam, meskipun bentuk dan mekanismenya memerlukan modifikasi. Pandangan yang kedua menganggap bahwa negara Islam tidak selayaknya mencari hutang luar negeri sebagai penutup saving gap-nya.
Pandangan pertama ini pada dasarnya membolehkan adanya budged deficit yang ditutup dengan external financing, sepanjang bentuk dan mekanismenya disesuaikan dengan syariah. Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh konsep dan fakta historis bahwa kerjasama dengan pihak lain dalam suatu usaha diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Bentuk-bentuk kerjasama yang diperkenankan dalam syariah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan lain-lain, dapat dikembangkan sebagai bentuk external financing dalam angaran negara. Bentuk-bentuk ini pada prinsipnya lebih bersifat flow creating equityflow creating debt, dimana mulai banyak diimplementasikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Islamic Development Bank (IDB) telah banyak membiayai proyek di negara-negara Islam dengan skema ini. Dibandingkan dengan hutang, penyertaan modal dipandang lebih konstruktif, proporsional dan fair dalam pembiayaan, karena terdapat pembagian perolehan dan resiko (loss- profit sharing). daripada
Pandangan kedua, melarang negara Islam untuk menutup budged deficit dengan hutang luar negeri. Pandangan ini sebenarnya lebih dikarenakan pertimbangan faktual dan preventif, dimana keterlibatan negara-negara Islam dalam hutang luar negeri pasti akan berinteraksi dengan sistem bunga. Dalam perspektif Islam, bunga (apapun motifnya-produksi-konsumsi, berapapun besar-tinggi/berlipat-lipat/atau rendah) dipandang sebagai riba, dan karenanya dilarang oleh agama dengan tegas.Pada akhirnya, hal ini akan menjerumuskan dalam berbagai bentuk transaksi riba yang dilarang oleh agama. Dengan demikian, maka sebaiknya negara Islam tidak memiliki hutang luar negeri. Dalam fakta, bunga hutang luar negeri juga telah menjadi beban yang berat bagi negara-negara debitur.
Dalam kondisi normal, hutang pasti harus dibayar. Namun, dalam kondisi kesulitan, pailit dan krisis yang diderita oleh debitur, al-Qur’an secara bijak menawarkan solusi yang realistis dan manusiawi. Allah berfirman:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Ayat tersebut menawarkan tiga alternatif penyelesaian krisis hutang:
- Penangguhan pembayaran hutang sampai debitur mampu mengembalikan hutangnya. Dalam konteks hutang luar negeri perlu diadakan penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang bersama dengan lembaga dan negara kreditur.
- Peringanan pembayaran hutang sesuai dengan kemampuan debitur. Pemberian keringanan ini besar kecilnya atau prosentasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak.
- Pembebasan seluruh hutang. Dalam kondisi dimana debitur tidak mampu membayar hutang, adalah sangat manusiawi dan terpuji bila kreditur mau membebaskan debitur dari seluruh hutangnya.
Prinsip yang telah digariskan al-Qur’an adalah tidak membebani kepada manusia kecuali sebatas kemampuannya. Allah berfirman:
“Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Solusi tersebut di atas adalah cara penyelesaian krisis hutang secara internal. Islam masih menawarkan teori penyelesaian krisis hutang secara sosial. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar pailit yang dalam istilah hukum Islamnya disebut muflis, Islam menawarkan dua cara penyelesaian:
a. Bantuan sosial dari masyarakat.
Sanak saudara, teman dan para dermawan secara sukarela memberikan bantuan untuk menyelesaikan hutang debitur yang pailit. Ini merupakan perwujudan dari kepekaan, kepedulian dan solidaritas sosial sebagaimana yang dianjurkan Islam. Cara penyelesaian sosial ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Pada saat itu ada seorang pengusaha yang jatuh pailit dan masih menanggung beban hutang yang sangat berat akibat kegagalan usaha buah-buahan. Nabi menyerukan kepada masyarakat untuk memberikan bantuan, dan bantuan pun mengalir, meskipun akhirnya belum juga dapat menutup seluruh utangnya. Kemudian Nabi mengambil kebijakan meminta kepada seluruh kreditur untuk mau menerima apa yang bisa didapat dan mengikhlaskan kekurangannya.
b. Bantuan sosial dari lembaga zakat dan negara.
Debitur yang bangkrut, berhak mendapatkan bantuan sosial dari lembaga zakat atau dana sosial dari negara. Dengan catatan hutang tersebut benar-benar digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umum.
Dari uraian tersebut di atas, menjadi tampak jelas bahwa solusi yang ditawarkan Islam untuk memecahkan masalah krisis hutang adalah sangat realistis, adil dan manusiawi, serta dapat diterapkan secara universal, baik antar pribadi, antar bangsa dan antar negara. Solusi tersebut telah mensinergikan berbagai dimensi sudut pandang, dimensi individu dan masyarakat, dimensi hukum, etika dan moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar